Advokat
Lawyer
Luthfi

July 26, 2025 • Hukum Perdata

Pertanyaan mengenai keberadaan mens rea di hukum perdata menyoroti titik kebingungan yang sering terjadi antara dua cabang utama hukum di Indonesia. blog ini akan secara sistematis mendekonstruksi premis tersebut. Secara ortodoks, mens rea, yang secara harfiah berarti “pikiran yang bersalah” (guilty mind), adalah landasan hukum pidana yang secara intrinsik terkait dengan konsep hukuman dan pemidanaan. Penerapannya secara langsung dalam hukum perdata adalah sebuah kekeliruan doktrinal.

Meskipun demikian, blog ini berargumen bahwa walaupun istilah mens rea tidak ditemukan dalam hukum perdata, substansinya—yakni analisis keadaan batin pelaku (kesengajaan atau kelalaian)—merupakan komponen krusial dari unsur kesalahan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perbedaan utamanya bersifat teleologis: fokus hukum pidana pada penghukuman berbanding dengan fokus hukum perdata pada kompensasi.

Kandang Doktrinal Mens Rea: Pertanggungjawaban Pidana

Untuk memahami mengapa mens rea tidak berlaku di ranah perdata, kita harus terlebih dahulu memahaminya dalam konteks aslinya: pertanggungjawaban pidana.

Pilar Kembar Tindak Pidana: Actus Reus dan Mens Rea

Hukum pidana berpegang pada adagium Latin, actus non facit reum nisi mens sit rea—sebuah perbuatan tidak membuat seseorang bersalah kecuali jika pikirannya juga bersalah. Asas ini mensyaratkan jaksa penuntut umum untuk membuktikan dua hal: adanya perbuatan fisik yang dilarang (actus reus) dan adanya keadaan batin yang tercela (mens rea) pada diri pelaku.

Mens rea adalah unsur subjektif, psikologis, atau “sikap batin pelaku” yang menjadi kunci untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban pidana.

Bentuk-Bentuk Mens Rea: Dolus dan Culpa

Dalam doktrin hukum pidana, mens rea termanifestasi dalam dua bentuk utama:

  1. Kesengajaan (Dolus atau Opzet): Ini adalah tingkat kesalahan tertinggi, di mana pelaku secara sadar menghendaki perbuatan dan/atau akibatnya. Bentuknya bervariasi, mulai dari niat sebagai tujuan (dolus directus) hingga kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan (dolus eventualis).
    2 Kealpaan (Culpa): Ini adalah tingkat kesalahan yang lebih rendah, yang ditandai dengan kurangnya kehati-hatian atau pandangan ke depan yang semestinya. Pelaku tidak menghendaki akibat, tetapi akibat itu terjadi karena kelalaiannya dalam memenuhi standar perilaku yang wajar.

Prinsip fundamental “geen straf zonder schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan) menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum jika tidak ada kesalahan yang dapat diatribusikan kepadanya. Seluruh tujuan dari penyelidikan mens rea dalam hukum pidana adalah untuk membuktikan kesalahan subjektif ini, yang pada akhirnya melegitimasi penjatuhan sanksi oleh negara.

Analogi dalam Hukum Perdata: “Kesalahan” dalam Perbuatan Melawan Hukum

Jika mens rea adalah milik hukum pidana, lalu bagaimana hukum perdata menilai keadaan batin seseorang? Jawabannya terletak pada konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Fondasi Tanggung Jawab Perdata: Pasal 1365 KUHPerdata

Pasal 1365 KUHPerdata adalah landasan dari tanggung jawab perdata di luar kontrak, yang berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Untuk memenangkan gugatan berdasarkan pasal ini, penggugat harus membuktikan empat unsur secara kumulatif: (1) adanya Perbuatan Melawan Hukum, (2) adanya Kesalahan, (3) adanya Kerugian, dan (4) adanya Hubungan Kausal antara perbuatan dan kerugian.

Membedah Unsur “Kesalahan”

Di sinilah letak titik temu sekaligus titik pisah antara hukum pidana dan perdata. Unsur “kesalahan” dalam konteks perdata adalah padanan fungsional dari mens rea. Unsur ini juga meneliti keadaan batin pelaku. Menurut doktrin dan yurisprudensi, “kesalahan” dalam Pasal 1365 KUHPerdata secara eksplisit mencakup baik kesengajaan maupun kealpaan (kurang hati-hati).

Namun, perbedaan krusial terletak pada konsekuensi hukumnya. Dalam hukum pidana, perbedaan antara dolus dan culpa sangat fundamental dan menghasilkan sanksi yang jauh berbeda (misalnya, pidana penjara untuk pembunuhan jauh lebih berat daripada untuk kelalaian yang menyebabkan kematian). Sebaliknya, dalam hukum perdata berdasarkan Pasal 1365, perbedaan ini sebagian besar menjadi tidak relevan. Baik kerugian disebabkan secara sengaja maupun karena kelalaian, akibat hukumnya sama: kewajiban untuk membayar ganti rugi penuh.

Hal ini menunjukkan filosofi yang berbeda secara fundamental. Sistem hukum perdata tidak berfokus pada kadar moral tercelanya pikiran pelaku. Fokus utamanya adalah pada korban dan kerugian yang dideritanya. Tujuannya bersifat restoratif—memulihkan posisi korban seperti sedia kala dengan memberikan kompensasi. Unsur “kesalahan” hanya berfungsi sebagai pemicu untuk memindahkan beban kerugian dari korban kepada pelaku.

Analisis Komparatif: Mens Rea vs. Kesalahan

Perbedaan antara kedua konsep ini dapat dirangkum dalam beberapa aspek kunci:

Fitur Hukum Pidana (Mens Rea) Hukum Perdata (Kesalahan dalam PMH)    
Tujuan Utama Hukuman, Pencegahan, Retribusi Kompensasi, Pemulihan    
Kepentingan yang Dilindungi Kepentingan Umum Kepentingan Perseorangan    
Pihak Inisiator Negara (melalui Jaksa Penuntut Umum) Pihak Swasta yang Dirugikan (Penggugat)    
Elemen Batin Inti Mens Rea (Pikiran Bersalah) Kesalahan (Fault)    
Bentuk Elemen Batin Dolus (Sengaja) & Culpa (Lalai) Kesengajaan (Sengaja) & Kealpaan (Lalai)    
Konsekuensi Pembedaan Dolus vs. Culpa menghasilkan sanksi yang sangat berbeda. Kesengajaan vs. Kealpaan umumnya menghasilkan akibat yang sama: ganti rugi penuh.    
Beban Pembuktian Pada Jaksa Penuntut Umum. Umumnya pada Penggugat.    
Standar Pembuktian Melampaui keraguan yang wajar (Beyond a Reasonable Doubt). Keseimbangan kemungkinan (Preponderance of the Evidence).    
Sanksi/Upaya Hukum Utama Penjara, Denda (dibayar ke negara). Ganti Rugi (dibayar ke korban).    

Irisan dalam Praktik: Satu Perbuatan, Dua Rezim Hukum

Satu perbuatan yang sama sering kali dapat memicu tanggung jawab di kedua ranah hukum. Misalnya, seorang pengemudi yang lalai dan menyebabkan kecelakaan lalu lintas dapat dituntut secara pidana berdasarkan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan karena kelalaiannya (culpa) yang membahayakan publik. Sanksinya bisa berupa denda atau kurungan penjara.

Pada saat yang sama, perbuatan lalai tersebut merupakan “kesalahan” menurut Pasal 1365 KUHPerdata. Korban kecelakaan dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas biaya pengobatan, kerusakan kendaraan, dan kerugian lainnya. Di sini, satu keadaan batin (kelalaian) ditinjau melalui dua kacamata hukum yang berbeda untuk mencapai dua tujuan yang berbeda pula

Kesimpulan: Pertanyaan Berbeda, Jawaban Berbeda

Kesimpulannya, istilah mens rea secara tegas terbatas pada hukum pidana. Namun, penyelidikan terhadap keadaan batin pelaku juga terjadi dalam hukum perdata melalui unsur kesalahan. Perbedaannya bukanlah pada substansi (keduanya menguji kesengajaan dan kelalaian), melainkan pada tujuannya.

infografik mens rea ranah perdata

Hukum pidana bertanya, “Apakah keadaan batin orang ini cukup tercela untuk dijatuhi hukuman oleh negara?” Sementara itu, hukum perdata bertanya, “Apakah keadaan batin orang ini cukup untuk menjadi dasar pemindahan beban kerugian finansial dari korban kepadanya?”

Memahami perbedaan ini sangat penting. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dapat dinyatakan tidak bersalah dalam sidang pidana (karena standar pembuktian yang tinggi tidak terpenuhi), namun tetap dihukum untuk membayar ganti rugi jutaan rupiah dalam gugatan perdata atas perbuatan yang sama. Kedua cabang hukum tersebut, dalam kebijaksanaannya, hanya sedang mengajukan—dan menjawab—dua pertanyaan yang secara fundamental berbeda.

Konsultasikan dengan kantor hukum Advokat Luthfi untuk dapatkan solusi efektif atas perbuatan hukum di ranah perdata ataupun perdana.

Meet the author

Keep reading

  1. Photo of Panduan Lengkap Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di Ranah Digital Indonesia

    Panduan Lengkap Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di Ranah Digital Indonesia

    June 28, 2025 • Hukum Digital

    Photo of Luthfi Asshiddieqy, S.H Luthfi Asshiddieqy, S.H

Baca blog kami untuk mendapatkan pengenalan dan tips praktis seputar berbagai aspek hukum.